...

Kisah Misteri Makam Gantung Eyang Djojodigdo di Blitar

On 12:36:00 PM with 1 comment


Blitar ternyata tidak hanya terkenal akan destinasi wisata ziarah makam Bung Karno saja, tapi juga terkenal akan lokasi ziarah pesanggrahan Djojodigdan. Pada waktu-waktu tertentu, pesanggrahan ini tidak hanya dikunjungi oleh masyarakat umum tetapi juga kaum spiritualis untuk mencari berkah atau ilmu. Lalu apa sih yang istimewa dari pesanggrahan ini?


Kisah Misteri Makam Gantung Eyang Djojodigdo di Blitar


Di pesanggrahan ini terdapat makam seorang tokoh sufi yang terkenal memiliki ilmu Aji Pancasona, Makam Gantung Patih Djojodigdo namanya. Ilmu Aji Pancasona ini bisa membuat pemiliknya bisa hidup kembali setelah meninggal jika jasadnya menyentuh tanah. Oleh karena itu, ketika Patih Djojodigdo wafat, beliau dimakamkan di makam gantung agar tidak hidup kembali.

Untuk mengenal lebih jauh sosok Patih Djojodigdo dan makam gantungnya, simak ulasan misteri pesanggrahan dan makam gantung Patih Djojodigdo di Blitar berikut ini.

Siapa Patih Djojodigdo itu?

Nama Patih Djojodigdo mungkin masih terdengar asing di telinga kita, namanya tidak seterkenal Pangeran Diponegoro atau Patih Gajah Mada maupun tokoh sejarah lainnya. Eyang Patih Djojodigdo sebenarnya merupakan salah satu keturunan darah biru dari Keraton Mataram. Beliau lahir dengan gelar kebangsawanan Raden Ngabehi di Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1827.

Ketika berusia 12 tahun, beliau meninggalkan Yogyakarta untuk mengikuti pamannya yang bernama RMT. Notowidjojo III yang menjabat Bupati Ngrowo. R.Ng. Djojodigdo juga merupakan salah satu tokoh penentang penjajahan Belanda.

Bersama-sama dengan sahabat dekatnya Pangeran Diponegoro, R. Ng. Djojodigdo melakukan perlawanan kepada Belanda selama peperangan tahun 1825-1830.  Meski sempat tertangkap berulang kali dan dieksekusi oleh Belanda, R. Ng. Djojodigdo masih bisa hidup kembali ketika jasadnya dibuang karena ajian Pancasona yang dimilikinya.

Ketika Pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan ke Makasar oleh Belanda, R. Ng. Djojodigdo tetap melakukan perlawanan terhadap kompeni sepanjang perjalanannya ke arah timur hingga sampai ke Blitar. Pada tanggal 8 September 1877, R. Ng. Djojodigdo diangkat menjadi Patih Blitar. Sebagai pendamping Bupati Blitar, Raden Adipati warso Koesoemo.

Sebagai seorang patih, Patih Djojodigdo melaksanakan tugasnya dengan gemilang bahkan sempat menerima penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda yakni dua lencana GM dan ZM. Hingga wafatnya pada 11 Maret 1909, Patih Djojodigdo dimakamkan di area pemakaman keluarga belakang kepatihan Blitar.

Di silsilah keluarganya, tidak hanya Eyang Djojodigdo saja yang menjadi pejuang kemerdekaan. Banyak keturunan beliau yang mengikuti jejak sebagai tokoh nasional perintis kemerdekaan NKRI seperti salah satunya R. A. Kartini.

Pahlawan nasional pejuang hak-hak wanita ini merupakan menantu dari Eyang Djojodigdo. Putra beliau, bupati Rembang KRMAA. Singgih Djojo Adhiningrat merupakan suami dari R. A. Kartini.

Pesanggrahan Djojodigdan

Sebagai seorang keturunan Keraton, Patih Djojodigdo tentu tak asing lagi dengan pemerintahan suatu kadipaten. Karena kecakapannya dalam pengambilan kebijakan, Patih Djojodigdo kemudian diberi tanah perdikan oleh Adipati Blitar.

Di atas tanah inilah kemudian Patih Djojodido membangun sebuah pesanggrahan berupa rumah besar yang diberi nama Pesanggrahan Djojodigdo. Di dalam pesanggrahan yang terletak di Jl. Melati No. 43, Blitar ini terdapat makam gantung tempat Patih Djojodigdo dimakamkan, serta berbagai peninggalan keluarga Patih Djojodigdo. Perabotan rumah tangga seperti koleksi foto keluarga, gentong penyimpan beras, meja, kursi, genealogi, ranjang serta payung pusaka masih tersimpan dengan baik di rumah ini.

Ilmu Aji Pancasona

Seperti yang diceritakan oleh juru kunci makam gantung, Biran, Eyang Djojodigdo merupakan satu-satunya pemilik ilmu Aji Pancasona pada zamannya. Ajian Pancasona ini membuat pemiliknya sulit mati karena ketika jasadnya menyentuh tanah, dia bisa hidup kembali.

Dalam epos Ramayana, pemiliki ajian ini hanyalah Subali, saudara kembar Sugriwa dari bangsa kera. Namun, ajian Pancasona sempat jatuh ke tangan Rahwana ketika Subali terkena bujuk rayu raja Ngalengka ini.

Menurut juru kunci berusia 74 tahun ini, R. Ng. Djojodigdo banyak melakukan laku tirakat untuk menguasai banyak ilmu termasuk salah satunya ilmu Aji Pancasona ini. Bahkan tidak hanya berguru pada bangsa manusia saja, R. Ng. Djojodigdo juga berguru pada sosok gaib pemilik pertama ilmu Aji Pancasona.

Untuk mendapatkan ilmu Aji Pancasona tidaklah mudah, seseorang yang menginginkannya harus menjalani tapa ngalong. Tapa ngalong ini dilakukan selama 40 hari 40 malam tanpa makan dan minum dalam keadaan bergantung di pohon dengan kepala di bawah.

Makam Gantung Patih Djojodigdo di Blitar

Jika dilihat sekilas, makam patih Djojodigdo tidak berbeda dengan makam Islam lainnya, hanya saja makam tersebut memiliki bentuk cungkup di atas makam yang unik sehingga membuatnya disebut sebagai makam gantung. Di dalam cungkup itulah ilmu Aji Pancasona, pusaka serta busana kebesaran Patih Djojodigdo tersimpan.

Ketika Patih Djojodigdo wafat, keluarga besarnya kemudian membuatkan makam yang menggantung tidak menyentuh tanah karena khawatir sang Patih akan hidup kembali mengingat Aji Pancasona yang dimilikinya.

Jasad Patih Djojodigdo lalu dimasukkan ke dalam peti besi yang disangga oleh empat tiang besi yang kemudian diurug dengan tanah sehingga mengesankan bahwa makam tersebut terlihat menggantung. Sementara itu, di samping kanan dan kiri makam tersebut digunakan sebagai makam kerabat Patih Djojodigdo.

Sebagai tokoh yang memiliki kesaktian tinggi, keberadaan makam gantung Patih Djojodigdo ini tentu menarik minat para kalangan spiritualis. Bahkan tidak jarang di antara mereka yang berziarah dengan maksud tertentu agar bisa berguru dengan Patih Djojodigdo secara gaib.

Tujuan mereka tentu agar bisa mendapatkan ilmu Aji Pancasona, namun, hingga kini belum ada yang berhasil mendapatkan ilmu tersebut. Justru bukan ilmu yang mereka dapatkan, kadang mereka malah diusir oleh suara tanpa rupa ketika sedang menjalankan laku tapa di makam tersebut.

Sosok Gaib Penunggu Makam Patih Djojodigdo

Selain karena kesaktian Patih Djojodigdo, makam gantung Patih Djojodigdo juga dianggap sebagai makam keramat bagi masyarakat Blitar karena adanya makhluk tak kasat mata yang menunggui makam tersebut. Mereka mempercayai bahwa makam tersebut dijaga oleh dua sosok gaib berwujud binatang besar.

Menurut Biran, dua sosok gaib yang berwujud seekor harimau loreng berukuran sebesar anak sapi serta ular berukuran sebesar batang pohon kelapa tersebut sering menampakkan diri kepada pengunjung makam terutama pada kaum spiritualis yang sedang berlaku tapa.

Masyarakat mempercayai bahwa kedua sosok makhluk gaib tersebut merupakan pengawal pribadi Eyang Djojodigdo semasa hidupnya dulu. Pengawal yang berasal dari bangsa lelembut itu tetap setia menemani Eyang Djojodigdo sampai sekarang.

Demikian ulasan mengenai misteri pesanggrahan dan makam gantung Patih Djojodigdo di Blitar. Hingga saat ini, pesanggrahan Djojodigdan masih berdiri dengan tegak meski sudah berusia ratusan tahun.

Selain sebagai tempat wisata spiritual, tempat ini juga bisa menjadi tempat wisata sejarah karena mengingatkan kita mengenai sosok yang pernah memperjuangkan kemerdekaan bangsa bersama dengan Pangeran Diponegoro. Bila Anda berkunjung ke Blitar, jangan lupa berziarah ke makam gantung Patih Djojodigdo.




Next
« Prev Post
Previous
Next Post »

1 komentar:

Sangat menarik artikel ini.
Mohon pencerahan, saya masih agak bingung.

Beliau lahir dengan gelar kebangsawanan Raden Ngabehi di Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1827.
.....
.....
.....
Bersama-sama dengan sahabat dekatnya Pangeran Diponegoro, R. Ng. Djojodigdo melakukan perlawanan kepada Belanda selama peperangan tahun 1825-1830

Menurut pemahaman saya, dari membaca tahun lahir dan tahun perang Diponegoro, berarti beliau turut melawan Belanda saat masih balita.

Mohon pencerahannya.

Terima kasih