Blitar ternyata tidak hanya terkenal akan destinasi
wisata ziarah makam Bung Karno saja, tapi juga terkenal akan lokasi ziarah pesanggrahan
Djojodigdan. Pada waktu-waktu tertentu, pesanggrahan ini tidak hanya dikunjungi
oleh masyarakat umum tetapi juga kaum spiritualis untuk mencari berkah atau
ilmu. Lalu apa sih yang istimewa dari pesanggrahan ini?
Di pesanggrahan ini terdapat makam seorang tokoh sufi yang
terkenal memiliki ilmu Aji Pancasona, Makam Gantung Patih Djojodigdo namanya. Ilmu
Aji Pancasona ini bisa membuat pemiliknya bisa hidup kembali setelah meninggal
jika jasadnya menyentuh tanah. Oleh karena itu, ketika Patih Djojodigdo wafat,
beliau dimakamkan di makam gantung agar tidak hidup kembali.
Untuk mengenal lebih jauh sosok Patih Djojodigdo dan
makam gantungnya, simak ulasan misteri pesanggrahan dan makam gantung Patih
Djojodigdo di Blitar berikut ini.
Siapa
Patih Djojodigdo itu?
Nama Patih Djojodigdo mungkin masih terdengar asing di
telinga kita, namanya tidak seterkenal Pangeran Diponegoro atau Patih Gajah
Mada maupun tokoh sejarah lainnya. Eyang Patih Djojodigdo sebenarnya merupakan
salah satu keturunan darah biru dari Keraton Mataram. Beliau lahir dengan gelar
kebangsawanan Raden Ngabehi di Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1827.
Ketika berusia 12 tahun, beliau meninggalkan Yogyakarta
untuk mengikuti pamannya yang bernama RMT. Notowidjojo III yang menjabat Bupati
Ngrowo. R.Ng. Djojodigdo juga merupakan salah satu tokoh penentang penjajahan
Belanda.
Bersama-sama dengan sahabat dekatnya Pangeran Diponegoro,
R. Ng. Djojodigdo melakukan perlawanan kepada Belanda selama peperangan tahun
1825-1830. Meski sempat tertangkap
berulang kali dan dieksekusi oleh Belanda, R. Ng. Djojodigdo masih bisa hidup
kembali ketika jasadnya dibuang karena ajian Pancasona yang dimilikinya.
Ketika Pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan ke
Makasar oleh Belanda, R. Ng. Djojodigdo tetap melakukan perlawanan terhadap
kompeni sepanjang perjalanannya ke arah timur hingga sampai ke Blitar. Pada
tanggal 8 September 1877, R. Ng. Djojodigdo diangkat menjadi Patih Blitar.
Sebagai pendamping Bupati Blitar, Raden Adipati warso Koesoemo.
Sebagai seorang patih, Patih Djojodigdo melaksanakan
tugasnya dengan gemilang bahkan sempat menerima penghargaan dari pemerintah
Hindia Belanda yakni dua lencana GM dan ZM. Hingga wafatnya pada 11 Maret 1909,
Patih Djojodigdo dimakamkan di area pemakaman keluarga belakang kepatihan Blitar.
Di silsilah keluarganya, tidak hanya Eyang Djojodigdo
saja yang menjadi pejuang kemerdekaan. Banyak keturunan beliau yang mengikuti
jejak sebagai tokoh nasional perintis kemerdekaan NKRI seperti salah satunya R.
A. Kartini.
Pahlawan nasional pejuang hak-hak wanita ini merupakan
menantu dari Eyang Djojodigdo. Putra beliau, bupati Rembang KRMAA. Singgih
Djojo Adhiningrat merupakan suami dari R. A. Kartini.
Pesanggrahan
Djojodigdan
Sebagai seorang keturunan Keraton, Patih Djojodigdo tentu
tak asing lagi dengan pemerintahan suatu kadipaten. Karena kecakapannya dalam
pengambilan kebijakan, Patih Djojodigdo kemudian diberi tanah perdikan oleh
Adipati Blitar.
Di atas tanah inilah kemudian Patih Djojodido membangun
sebuah pesanggrahan berupa rumah besar yang diberi nama Pesanggrahan
Djojodigdo. Di
dalam pesanggrahan yang terletak di Jl. Melati No. 43, Blitar ini terdapat
makam gantung tempat Patih Djojodigdo dimakamkan, serta berbagai peninggalan
keluarga Patih Djojodigdo. Perabotan rumah tangga seperti koleksi foto
keluarga, gentong penyimpan beras, meja, kursi, genealogi, ranjang serta payung
pusaka masih tersimpan dengan baik di rumah ini.
Ilmu
Aji Pancasona
Seperti yang diceritakan oleh juru kunci makam gantung,
Biran, Eyang Djojodigdo merupakan satu-satunya pemilik ilmu Aji Pancasona pada
zamannya. Ajian Pancasona ini membuat pemiliknya sulit mati karena ketika
jasadnya menyentuh tanah, dia bisa hidup kembali.
Dalam epos Ramayana, pemiliki ajian ini hanyalah Subali,
saudara kembar Sugriwa dari bangsa kera. Namun, ajian Pancasona sempat jatuh ke
tangan Rahwana ketika Subali terkena bujuk rayu raja Ngalengka ini.
Menurut juru kunci berusia 74 tahun ini, R. Ng. Djojodigdo
banyak melakukan laku tirakat untuk menguasai banyak ilmu termasuk salah
satunya ilmu Aji Pancasona ini. Bahkan tidak hanya berguru pada bangsa manusia
saja, R. Ng. Djojodigdo juga berguru pada sosok gaib pemilik pertama ilmu Aji
Pancasona.
Untuk mendapatkan ilmu Aji Pancasona tidaklah mudah,
seseorang yang menginginkannya harus menjalani tapa ngalong. Tapa ngalong ini
dilakukan selama 40 hari 40 malam tanpa makan dan minum dalam keadaan
bergantung di pohon dengan kepala di bawah.
Makam
Gantung Patih Djojodigdo di Blitar
Jika dilihat sekilas, makam patih Djojodigdo tidak
berbeda dengan makam Islam lainnya, hanya saja makam tersebut memiliki bentuk
cungkup di atas makam yang unik sehingga membuatnya disebut sebagai makam
gantung. Di dalam cungkup itulah ilmu Aji Pancasona, pusaka serta busana
kebesaran Patih Djojodigdo tersimpan.
Ketika Patih Djojodigdo wafat, keluarga besarnya kemudian
membuatkan makam yang menggantung tidak menyentuh tanah karena khawatir sang
Patih akan hidup kembali mengingat Aji Pancasona yang dimilikinya.
Jasad Patih Djojodigdo lalu dimasukkan ke dalam peti besi
yang disangga oleh empat tiang besi yang kemudian diurug dengan tanah sehingga
mengesankan bahwa makam tersebut terlihat menggantung. Sementara itu, di samping
kanan dan kiri makam tersebut digunakan sebagai makam kerabat Patih Djojodigdo.
Sebagai tokoh yang memiliki kesaktian tinggi, keberadaan
makam gantung Patih Djojodigdo ini tentu menarik minat para kalangan
spiritualis. Bahkan tidak jarang di antara mereka yang berziarah dengan maksud
tertentu agar bisa berguru dengan Patih Djojodigdo secara gaib.
Tujuan mereka tentu agar bisa mendapatkan ilmu Aji
Pancasona, namun, hingga kini belum ada yang berhasil mendapatkan ilmu
tersebut. Justru bukan ilmu yang mereka dapatkan, kadang mereka malah diusir
oleh suara tanpa rupa ketika sedang menjalankan laku tapa di makam tersebut.
Sosok
Gaib Penunggu Makam Patih Djojodigdo
Selain karena kesaktian Patih Djojodigdo, makam gantung
Patih Djojodigdo juga dianggap sebagai makam keramat bagi masyarakat Blitar
karena adanya makhluk tak kasat mata yang menunggui makam tersebut. Mereka
mempercayai bahwa makam tersebut dijaga oleh dua sosok gaib berwujud binatang
besar.
Menurut Biran, dua sosok gaib yang berwujud seekor
harimau loreng berukuran sebesar anak sapi serta ular berukuran sebesar batang
pohon kelapa tersebut sering menampakkan diri kepada pengunjung makam terutama pada
kaum spiritualis yang sedang berlaku tapa.
Masyarakat mempercayai bahwa kedua sosok makhluk gaib
tersebut merupakan pengawal pribadi Eyang Djojodigdo semasa hidupnya dulu.
Pengawal yang berasal dari bangsa lelembut itu tetap setia menemani Eyang
Djojodigdo sampai sekarang.
Demikian ulasan mengenai misteri pesanggrahan dan makam
gantung Patih Djojodigdo di Blitar. Hingga saat ini, pesanggrahan Djojodigdan
masih berdiri dengan tegak meski sudah berusia ratusan tahun.
Selain sebagai tempat wisata spiritual, tempat ini juga
bisa menjadi tempat wisata sejarah karena mengingatkan kita mengenai sosok yang
pernah memperjuangkan kemerdekaan bangsa bersama dengan Pangeran Diponegoro. Bila
Anda berkunjung ke Blitar, jangan lupa berziarah ke makam gantung Patih
Djojodigdo.
1 komentar:
Sangat menarik artikel ini.
Mohon pencerahan, saya masih agak bingung.
Beliau lahir dengan gelar kebangsawanan Raden Ngabehi di Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1827.
.....
.....
.....
Bersama-sama dengan sahabat dekatnya Pangeran Diponegoro, R. Ng. Djojodigdo melakukan perlawanan kepada Belanda selama peperangan tahun 1825-1830
Menurut pemahaman saya, dari membaca tahun lahir dan tahun perang Diponegoro, berarti beliau turut melawan Belanda saat masih balita.
Mohon pencerahannya.
Terima kasih